2 Feb 2012

Keshalihan Versus Kesalahan

Oleh:
Aswar
Apa yang ada di pikiran Anda ketika melihat seorang laki-laki memakai gamis, kepala tertutup peci, menenteng mushaf menuju masjid, plus jenggot dan jidat hitam? Hampir dipastikan anggap pertama laki-laki itu orang yang shalih. Sama halnya ketika seorang perempuan memakai kerudung atau mukena menuju masjid saat azan berkumandang, satu interpretasi terhadap perilakunya ialah, perempuan itu perempuan shalihah. Tapi apa yang ada di pikiran Anda bila melihat seorang laki-laki berkumis tebal, berpakaian compang-camping, menenteng barang tertutup sarung, dan berlari tergesa-gesa di tengah malam? Jawabannnya mungkin tak jauh melesat, orang itu perampok. Keshalihan dan kesalahan, begitulah menghiasi hidup kita. Namun pada dasarnya, ukuran keshalihan itu bukan hanya dari apa yang zahir di hadapan kita, yang lebih utama adalah keshalihan jiwa yang selalu takut dan bergantung hanya kepada Allah. Boleh jadi keshalihan seumur jagung dan bukan tidak mungkih kesalahan juga seumur jagung. Bergantung manusianya, bagaimana menyikapi hidup. Bertahan pada keshalihannya atau tetap pada kesalahannya.

Keshalihan adalah sifat dasar manusia yang mulia ketika mereka mampu mengenal Tuhannya dengan perlakuan positif dan menanagenya sesuai tuntunan yang benar. Sedangkan kesalahan merupakan sifat dasar yang semua manusia pernah melakukannya. Yang shalih, setengah shalih, sampai yang benar-benar tidak shalih adalah manusia yang tak pernah luput dari kesalahan. Khilaf atau pun sengaja.Kesalahan kerap kali menghiasi hidup sebagai bagian dari sifat ‘fitrah’ manusia. Kesalahan menjadi cambuk manakala dijadikan bahan evaluasi terhadap sikap pesimis pengamalan iman yang tidak istiqomah.

Intensitas amal shalih berkesinambuangan menguatkan jiwa untuk selalu berada di atas jalur kebaikan. Kesinambungan, dalam pengertian aplikasi iman dan aksi nyata melalui hati dan tindakan sehingga menganulir kesalahan yang kadang mengalami repetisi.
Begitulah kesalahan mengajari kita untuk senantiasa melibatkan sang Maha dalam setiap perilaku. Kesalahan yang minim menumbuhkan keshalihan. Kita sadar, kesalahan datang ketika jiwa manusia alpa terhadap peraturan perundang-undangan langit. Saat perilaku menyimpang, menjadi perkara yang wajib dimintai pertanggungjawabannya kelak.

Kebalikan dari kesalahan, keshalihan. Keshalihan dalam konteks implementasi ilmu dan keteladanan yang kontinu. Keshalihan kerap kali menimbulkan penyimpangan para penyandangnya, dalam defenisi sering lupa aturan, terpaksa melanggar, atau sekadar tidak sengaja. Tapi ada bahasa langit bahwa keshalihan jenis itu menjadi pelajaran untuk senantiasa merasakan pengawasan Sang Pencipta sehingga tidak menuntut tanggung jawab.

Kesalihan versus kesalahan merupakan paduan antara panggilan jiwa dan panggilan nafsu. Keduanya tetap berkibar dalam jiwa manusia. Bergantung kecerdasan mengontrol dan memberikan instruksi positif para pelakunya agar selalu setia atas syahadat yang dijunjungnya.

Manusia yang shalih bukan berarti tidak pernah salah. Demikian juga sebaliknya, yang salah bukan berarti tidak shalih. Shalih dan salah berhimpun dalam jiwa manusia. Shalih dan salah menjadi ‘kekal’ selama tidak bersinggungan dengan kekafiran dan kekufuran. Jika sudah kafir, maka keduanya; shalih dan salah akan berpisah. Keshalihan terkubur, kesalahan menjadi-jadi. Jiwa akan jauh dari petunjuk. Hidup tanpa tujuan, tanpa makna, tanpa manfaat.

Demikianlah keshalihan mengajari kita untuk senantiasa memantapkan iman kepada yang Maha segala-galanya. Keshalihan mencerahkan, kesalahan mengotori dan melukai jiwa, sedangkan kekafiran mengubur dan melupakan hakikatnya.

Tidak ada komentar: